Pematang Siantar merupakan ibu kota kawasan Sumatra Timur di masa revolusi. Sejak dulu kala kota ini termasyur makmur dan banyak penduduknya. Untuk menguasai Sumatra Timur, Belanda menduduki Pematang Siantar dengan menempatkan pasukannya. Maka tidak heran, keamanan di sana cukup rawan. Bentrokan kerap terjadi antara tentara Belanda dengan kelompok laskar pro republik.
Keadaan itulah yang disaksikan Muhamad Radjab, wartawan Kantor Berita Antara yang ditugaskan Kementerian Penerangan untuk meliput suasana perjuangan revolusi di Sumatra. Pada Juni 1947, Radjab menyambangi beberapa kota di Sumatra Timur. Menurut Radjab, di sana partai-partai politik dan barisan laskar rakyat sangat subur. Ada sekira 20 macam perkumpulan, antara lain: Napindo, Naga Terbang, Barisan Harimau Liar (BHL), Halilintar, Ular Sendok, Pesindo, Angkatan Pemberontak Indonesia (API), Parkindo, Barisan Merah, Sabililah, Mujahidin, Marsose, disamping polisi militer dan tentara.
“Banyaknya laskar ini pada awalnya sangat menggirangkan, sebab akan kuatlah pertahanan militer kita di belakang hari,” tutur Radjab dalam Tjatatan di Sumatra.
Pada 22 Juni 1947, Radjab mengunjungi Pematang Siantar yang tengah ramai oleh kaum pengungsi dari Medan. Radjab mencatat, mulai dari restoran, lepau-lepau kopi, dan hotel penuh sesak oleh pencatut, laskar, dan pegawai-pegawai negeri yang kerjanya mondar-mandir. Bersamaan dengan kunjungan Radjab, telah terbentuk kelompok laskar paling disegani “Marsose” dikepalai oleh Timur Pane, bandit yang memasang sendiri pangkat jenderal mayor di pundaknya.
Di mana banyak orang berkumpul, di sana hiruklah kelompok laskar yang mengumbar bicara. Begitulah pemandangan yang dilihat Radjab tatkala menongkrongi lapau kopi di Pematang Siantar. Dalam setiap obrolan, mereka mengeluarkan tiap-tiap kalimat spektakuler demi terdengar gagah berani di telinga pendengar. Bualan itu ditegaskan dengan gerak badan, tangan dan kaki, kalau perlu berdiri sambil menghadrik-hardik membelalangkan mata. Cerita yang dipamerkan kebanyakan seputar pengalaman bertempur dengan Belanda di garis depan.
Sekilas, Radjab yang baru datang dari Jawa lekas saja percaya. Sungguh dinamis dan bernyali orang-orang Sumatra Timur ini, begitu pikirnya. Radjab pun turut terbuai. Tanpa sadar dirinya ikutan gembira dan semangatnya meluap. Namun, Radjab di sisi lain menangkap kesan kecongkakan tersisip dalam cerita heroik mereka.
“Apalagi kalau didengarkan ceritanya di medan pertempuran, kita yang belum pernah berjuang, mereka merasa diri kecil sekali,” kata Radjab, “yang bercerita itu tidak senang diam, selalu bergerak, kedua tangannya turun naik, matanya bersinar-sinar, dan kopi susu habis beberapa cangkir.”
Dengan cekat, sesosok laskar yang mengoceh itu diamati Radjab mulai ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya yang panjang terumbai-umbai sampai bahu. Kadang-kadang, janggutnya tidak dicukur. Pistol revolver ada dua melekat di saku pinggang. Mulutnya mendongak ke atas. Tidak luput dari pandangan, sepatu lars yang merentak-rentak ke ubin. Radjab si wartawan Antara dari Yogyakarta itu terkagum-kagum.
Namun, seorang teman Radjab yang juga warga Siantar, datang sejurus kemudian. Dia membisikkan sesuatu kepada Radjab bahwa pelagak-pelagak yang unjuk taji itu sesungguhnya tidak pernah ke garis depan. Mereka hanya mondar-mandir di garis belakang. Sebaliknya, yang selalu bertempur di garis depan biasanya tidak banyak lagak.
Radjab kaget mendengarnya. “Pistol itu?” tanya Radjab.
“Ah, untuk mengancam tukang warung kopi, yang minta bayaran, bila pahlawan garis belakang itu sudah minum,” ujar sang kawan.
Mengetahui fakta tersebut, Radjab hanya bisa tercengang dan terheran-heran. Laskar yang tampak memukau itu ternyata hanya jago tipu yang berlagak bak pahlawan. Empat hari berada di Pematang Siantar, Radjab dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Brastagi di Tanah Karo. Tidak lupa, Radjab membawa oleh-oleh berupa kisah kesaksiannya tentang laskar Sumatra Timur untuk dituliskan kemudian dalam reportasenya. (*)
Oleh: Martin Sitompul | 01 Jun 2021
Sumber: historia.id