Jakarta– Kebijakan impor garam yang telah diputuskan pemerintah beberapa waktu lalu berbuntut panjang. Setidaknya ada tiga temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Diketahui, pemerintah telah memutuskan kenaikan impor garam industri menjadi 3 juta ton, dari proyeksi 4,6 juta ton kebutuhan.
Anggota KPPU Yudi Hidayat mengungkapkan kebijakan importasi garam saat ini mengarah pada penguasaan pasokan garam oleh importir tertentu. Ia meminta pemerintah agar mewajibkan penyerahan data penggunaan garam impor oleh importir.
”Hal ini ditujukan agar pemerintah dapat memantau hubungan realisasi impor garam industri dan penggunaannya untuk kepentingan industri, sehingga dapat memastikan bahwa impor dilakukan untuk keperluan industri dan mencegah masuknya garam industri tersebut di pasar garam rakyat,” ujar Yudi dalam keterangan persnya yang diterima Rilis.id, (group lampungcorner.com) Rabu (21/4/2021).
Yudi mengakui importasi tersebut memang tidak dapat dihindari karena kualitas produksi garam rakyat yang belum mampu memenuhi kualitas kebutuhan industri.
”Masalahnya, impor garam industri ini dilaksanakan di tengah masih tersedianya stok garam nasional dalam jumlah yang signifikan, yakni di atas 1 juta ton,” bebernya.
Sementara, kata Yudi, kebijakan baru dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
”Khususnya Pasal 291 mengatur bahwa importir garam harus memprioritaskan penyerapan garam hasil produksi petambak garam yang tersedia di gudang garam nasional dan/atau gudang garam rakyat untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri,” ujarnya.
”Saat ini impor garam untuk keperluan industri menggunakan model kuota per importir. Ini rentan mengarah kepada penguasaan pasokan garam di pasar oleh pelaku usaha yang terbatas,” sambung Yudi.
Kebijakan ini, menurutnya, dapat mendorong supernormal profit melalui penjualan garam industri ke garam konsumsi seiring dengan perbedaan harga yang tinggi di antara keduanya.
KPPU pun mencatat ada tiga potensi permasalahan dalam kebijakan importasi garam. Pertama, adanya potensi garam industri dari impor yang tidak terpakai masuk ke pasar garam konsumsi sebagai akibat kesalahan dalam mengestimasi kebutuhan impor.
Sebagai informasi, kebutuhan garam nasional tahunan saat ini berada di sekitar 4,6 juta ton dengan hampir 84 persen atau 3,9 juta ton, di antaranya berasal dari kebutuhan garam industri. Hanya sekitar 7 persen untuk kebutuhan rumah tangga. Stok garam lokal sekitar 1,3 juta ton.
”Analisis pemerintah terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi dan sektor industri pengolahan tahun 2021 menunjukkan estimasi 2,49-3,01, masih berada di bawah level pertumbuhan 2019, yakni sebesar 3,8. Sehingga kemungkinan sektor yang paling banyak membutuhkan garam industri (CAP dan aneka pangan) juga mengalami pertumbuhan kebutuhan di bawah tahun 2019,” jelasnya.
Menurut Yudi, kebutuhan impor garam industri di 2021 tidak akan mencapai 3 juta ton apabila kebutuhan impor garam sektor 2,5 juta ton (2019) dengan pertumbuhan sektor pengolahan 3,8.
”Dengan demikian kebutuhan garam industri tahun 2021 tidak sebesar tahun 2019 dan berpotensi overestimasi,” ucapnya.
Permasalahan kedua, masih kata Yudi, realisasi importasi yang mungkin tidak tercapai sepenuhnya. Importir melakukan impor dilakukan sesuai alokasi kuota yang ditetapkan pemerintah untuk kebutuhan internal.
Berdasarkan data, realisasi impor yang dilakukan per April mencapai 412 ribu ton atau 19,67 persen dari total rekomendasi dikeluarkan yang mencapai 2,1 juta ton.
”Apabila dihitung dari alokasi impor sebesar 3 juta, maka realisasi impor per April baru mencapai 13,38 persen. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, realisasi impor garam mencapai 1,8 juta ton. Sehingga terdapat potensi impor yang tidak dilaksanakan. Atau dilaksanakan, namun tidak digunakan sebagaimana peruntukan garam industri,” ungkapnya.
Ketiga, lemahnya pengawasan pasca importasi. Saat ini tidak terdapat mekanisme pengawasan terhadap penggunaan garam impor oleh importir.
”Sehingga tidak tertutup kemungkinan terdapat sisa stok garam impor yang tidak terpakai oleh industri dan berpotensi masuk ke pasar garam rakyat, apalagi dengan disparitas harga yang tinggi,” tambah Yudi.
Ia menegaskan potensi masuknya kelebihan garam impor ke pasar garam rakyat menjadi semakin besar apabila importir tidak melaporkan penggunaan serta penyaluran garam impor kepada pemerintah.
Untuk itu, pihaknya meminta pemerintah perlu melakukan pengawasan terhadap industri pengguna garam impor serta importir garam, khususnya dengan mewajibkan penyerahan data penggunaan garam impor kepada pemerintah.
“Juga melakukan perbaikan mekanisme penujukkan importir guna memastikan agar stok garam impor tidak jatuh pada penguasaan kelompok tertentu dalam porsi yang signifikan,” imbuh Yudi.
Selain itu KPPU juga merekomendasikan agar pemerintah mengutamakan penyerapan stok garam rakyat yang masih ada untuk pasar domestik dan memastikan stok garam impor digunakan sesuai dengan peruntukan rencana awal tahun.
“Dan tidak terjadi rembesan ke pasar garam rakyat sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2021,” pungkasnya. (*)
Redaksi