LAMPUNGCORNER.COM, Bandarlampung – Hak-hak kesehatan seksualitas dan reproduksi (HKSR) perlu diperkenalkan sejak remaja. Sekolah terutama punya peran penting memberikan edukasi dan pemahaman tentang HKSR.
Koordinator Pencegahan HIV/AIDS PKBI Lampung, Rachmad Cahya Aji, menilai tidak banyak sekolah yang saat ini mau mengajarkan HKSR pada remaja.
Baru sedikit yang sudah bekerjasama dengan PKBI dan melatih para gurunya pemahaman tentang HKSR, untuk kemudian diteruskan pada siswanya.
“Soal bagaimana menjaga diri dari perilaku seks yang berisiko, bagaimana cara menghindari HIV supaya anak tidak menjadi korban pelecehan seksual dan menjadi korban bullying,” kata Aji, Kamis (24/6/2021).
Di sisi lain, belum tersedianya payung hukum yang mewajibkan guru atau sekolah memberikan informasi kesehatan reproduksi kepada siswa.
Menurutnya, menjaga kesehatan reproduksi sangat penting dilakukan sejak dini. Sebab masa remaja adalah waktu terbaik untuk membangun kebiasaan baik, menjaga kebersihan, dan kesehatan reproduksi.
“Remaja saat ini berhak untuk tahu mana perilaku yang sehat, boleh dan tidak boleh dilakukan. Serta bagian mana saja yang harus dilindungi. Ini perlu diberikan edukasi kepada para remaja,” ungkap Aji.
Dia menerangkan penjelasan mengenai kesehatan reproduksi tidak diberikan secara kongkret dan jelas pada remaja. Remaja selama ini hanya dilarang tanpa diberikan alasan yang menyebabkan mereka mencari tahu jawabannya sendiri.
“Ketika mereka mencari tahu malah mendapatkan jawaban yang salah. Jadi perlu diberikan pengertian yang logis sehingga mereka paham. Sehingga saat akan melakukan hal negatif mereka akan berpikir ulang,” ujar dia.
Sementara, Ketua AJI Bandarlampung, Hendri Sihaloho, menjelaskan perbedaan antara independensi dan sikap netral sebagai seorang jurnalis.
Netral itu tidak berpihak, sedangkan independensi itu soal sikap keberpihakan. Menurut dia, seorang jurnalis harus memiliki keberpihakan terhadap kebenaran.
Sebagai contoh kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan. Seorang jurnalis harus memihak korban, bukan sebaliknya membuat pemberitaan justru seolah-olah membenarkan pelaku dan menyudutkan korban.
“Tidak ada korelasinya antara pakaian dengan pemerkosaan. Hal ini terbantahkan seperti contohnya pemerkosaan terhadap bayi. Jadi yang salah adalah pelaku bukan korban,” ujar dia.
Selain itu, dalam pembuatan judul pun harus mengangkat sisi keberpihakan terhadap korban, bukan mengeksploitasi korban.
Begitu pun dengan isi berita. Tidak boleh mengungkap identitas jelas korban, cukup dengan memberikan inisial dan tidak menerangkan alamat jelas si korban.
“Inilah letak keberpihakan jurnalis, yakni berpihak terhadap kebenaran, ” tandasnya. (*)