Oleh: Wirahadikusumah
Tulisan ini adalah lanjutan dari artikel saya berjudul ”Rapat Perencanaan”. Yang saya tulis pada 1 September 2021.
Dalam tulisan kali ini, saya akan melanjutkan pengalaman saat mengikuti pelatihan jurnalistik. Bersama 17 wartawan lainnya. Dari berbagai penjuru Indonesia. Pada Desember 2014. Di lantai 11 Graha Pena Jakarta. Yang berlokasi di Jl. Raya Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pelatihan jurnalistik itu digelar selama 10 hari. Dari pukul 07.30 sampai 17.30 WIB. Dan, selama sepuluh hari itu, tidak ada pemateri lain. Hanya Abah Dahlan Iskan (DIS) seorang.
Abah DIS di awal pelatihan memang menganulir semua pemateri yang sudah disiapkan panitia. Untuk ikut memberi pelatihan jurnalistik level pemimpin redaksi tersebut.
Saya ingat kala itu, alasan Abah DIS menganulir pemateri lainnya karena ingin mendoktrin peserta pelatihan. Tentu termasuk saya di antaranya.
”Jika ada pemateri lain selain saya, nanti doktrin saya tidak masuk. Karena itu, selama 10 hari ke depan, pemateri pelatihan hanya saya seorang,” katanya kala itu.
Nah, dalam tulisan ini, saya akan membagi materi yang diberikan Abah DIS. Tentang celetukan untuk menyusun bahan deskripsi pada berita. Materi ini disampaikannya di hari ketiga pelatihan.
Menurutnya, ada bahan termahal dalam menyusun deskripsi. Pada berita yang kita buat. Bahan itu berupa: celetukan narasumber.
”Karena itu, jangan abaikan celetukan narasumber. Karena biasanya, yang asli dan memiliki warna itu justru datang dari celetukan!” ucapnya.
Ia meminta kepada peserta pelatihan, setiap menulis berita, harus ada kalimat yang bisa membuat orang tersenyum. Dan, itu semua bisa terjawab dari deskripsi atau celetukan-celetukan sumber berita.
”Tapi biasanya celetukan itu sering diabaikan, karena dianggap kurang penting,” sesalnya.
Padahal, era baru jurnalistik harus mengutamakan yang menarik, daripada yang penting. Karena yang penting, pasti sudah ada di media massa lain.
”Kita harus mendapatkan sisi menarik. Itu bisa didapat dari deskripsi lengkap dan celetukan. Itu syarat vital!” pesannya.
Abah DIS juga menerangkan, tentang penyakit yang merusak deskripsi dalam berita. Yakni, sikap wartawan yang sambil lalu.
Ia menyebutkan, wartawan sambil lalu itu adalah penyakit ebolanya untuk memperoleh deskripsi yang baik.
”Kita harus sepakati di forum ini, Anda tidak boleh mempunyai wartawan sambil lalu!” tegasnya.
Abah DIS mengajak kami bertekad, memerangi wartawan sambil lalu. Ia merasa kasihan dengan profesi jurnalistik. Sebab, jika wartawan sambil lalu makin banyak, maka kian lama, profesi ini akan disepelekan orang.
”Ada anggapan nanti, siapa saja bisa jadi wartawan. Semakin banyak wartawan sambil lalu, akan semakin menjatuhkan profesi ini,” ungkapnya.
Padahal, seorang wartawan harus bisa terus menjaga mutu berita. Demi menjaga martabat jurnalistik. Salah satunya anti dengan wartawan sambil lalu.
”Karenanya, saat Anda nanti kembali ke daerah masing-masing, tantang wartawan Anda untuk tidak menjadi wartawan sambil lalu!” perintahnya.
”Kalau wartawan sambil lalu dibiarkan, nanti bakal besar kepala. Mereka akan merasa dengan laporan biasa-biasa saja, beritanya bisa terbit,” lanjut dia.
Lantas pada periode berikutnya, akan didapatkan redaktur sambil lalu. Beberapa tahun berikutnya, dapat pemimpin redaksi sambil lalu.
”Jika begitu, maka bubarlah jurnalistik! Dan saat itu jugalah, api jurnalistik telah padam. Makanya, itu perlu kita perangi sejak sekarang!” tegasnya. (bersambung/wirahadikusumah)
