Orang tua mana yang tak geram membaca berita itu. Saya yang belum punya anak perempuan saja berang.
Berita tersebut tentang perbuatan guru honorer itu. Pada salah satu SMP di Bandarlampung itu. Yang merudapaksa siswinya sendiri itu.
Oknum guru itu bernama Hafis Mulki. Usianya masih terbilang muda: 28 tahun.
Peristiwanya terjadi Senin (7/3/2022). Kala itu, ia memanggil muridnya itu seorang diri ke sekolah. Dengan alasan ingin mengawasi korban langsung saat mengerjakan tugas. Lantas, ia memperkosa muridnya itu. Dengan ancaman akan mengeluarkan korban dari sekolah.
Bahkan saat melakukan perbuatannya, Hafis menutup mata korban dengan kain jilbab. Bejatnya lagi, perbuatan itu direkam dengan handphone.
Berselang beberapa hari, Hafis meminta korban datang ke sekolah lagi. Korban terpaksa mengikuti kemauan gurunya itu. Sebab, diancam rekaman akan disebarkan. Jika menolak panggilannya.
Beruntung, ia berhasil kabur, saat Hafis hendak merudapaksanya lagi. Ia bersama orangtuanya lantas melapor ke polisi.
Peristiwa itu menjadi perbincangan publik. Mulai wali kota, DPRD, ahli hukum, hingga para orang tua mengomentarinya.
Banyak yang sepakat Hafis dihukum seberat-beratnya. Bahkan tak sedikit meminta oknum guru ini di hokum kebiri kimia.
Salah satu yang meminta Hafis di kebiri kimia adalah Deni Ribowo, anggota DPRD Lampung.
Saya sepakat dengan permintaan Deni Ribowo itu. Tetapi, hingga menulis naskah ini, saya belum pernah mendengar, eksekusi kebiri kimia dilaksanakan di Indonesia.
Hukumannya padahal sudah diatur. Dalam Perppu No.1 Tahun 2016. Itulah Perppu perubahan kedua UU No. 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
Ada dua pasal yang diubah. Yaitu Pasal 81 dan Pasal 82. Juga menambah satu Pasal 81A.
Dalam Perppu itu diatur tentang hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal penjara 20 tahun dan minimal 10 tahun.
Selain itu ada tiga tambahan jenis hukuman. Yaitu kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Perppu itu akhirnya resmi menjadi undang-undang. Setelah disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 12 Oktober 2016.
Tapi, setahu saya, sejak itu belum pernah ada hukuman kebiri kimiawi yang sudah menjadi vonis hakim dieksekusi.
Sebab, hukuman kebiri kimiawi bagi predator seksual masih menjadi kontroversi. Ikatan Dokter Indonesia pernah meminta pemerintah tidak melibatkan dokter sebagai eksekutor kebiri.
Alasannya melanggar fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia. Juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Lantas, siapakah yang akan mengeksekusi putusan hakim. Tentang vonis hukuman kebiri kimiawi itu?
Entahlah…
Mungkin bisa saja tukang sunat! (Wirahadikusumah)
