Kesal.
Kesal sekali rasanya.
Bisa jadi, Anda juga sama kesalnya dengan saya. Saat mengemudikan kendaraan. Di Jalan Lintas Barat (Jalinbar). Terutama dari Bandarlampung hingga Pringsewu. Bahkan bisa jadi sampai Gisting, Tanggamus. Pun sebaliknya!
Kekesalan itu muncul karena kapasitas jalan tersebut. Yang menurut saya, dan saya yakin menurut Anda juga, sudah tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang melintas di jalan berstatus nasional itu.
Terlebih saat Lebaran. Yang tiap tahun, jalan tersebut pasti crowded. Yang jalan kendaraan tak laik lagi dianalogikan merayap, lebih pantas berjalan seperti siput.
Kali terakhir saya mengemudi kendaraan di Jalinbar pada Minggu (15/5/2022) sore. Dari Gedongtataan, Pesawaran menuju Bandarlampung. Setelah sebelumnya saya menghadiri undangan halal bihalal di Kecamatan Kedondong, Pesawaran.
Kendati saat mengemudi saya ditemani alunan musik dari Iwan Fals, tetap tak mampu menutup rasa kesal saya saat itu. Lantaran kepadatan kendaraan di jalan tersebut.
Bahkan, saking melaju pelannya, saya sambil mengemudi masih bisa mengirimkan pesan WhatsApp (WA). Kala itu saya mengirimkan pesan WA kepada Bupati Pesawaran Dendi Ramadhona.
Sore itu saya memang sudah berjanjian dengannya. Untuk bertemu di kediamannya. Saya pun meminta maaf kepadanya karena terlambat dari jam yang ditentukan untuk bertemu. Tentu alasannya karena kondisi Jalinbar yang padat.
Saya yakin, ia maklum dengan alasan itu. Ia pasti tahu kondisi Jalinbar seperti apa. Tiap hari kerja ia melintasinya. Dalam hati, saya pun berencana mengeluhkan perihal kondisi Jalinbar kepadanya.
Dan ketika bertemu Dendi di kediamannya, kondisi Jalinbar yang menjadi topik pertama diskusi kami.
Dendi pun ternyata sama kesalnya seperti saya dengan kondisi Jalinbar. Ia mengaku akhirnya kini menggunakan Mobil Patwal (Patroli Pengawalan), ketika akan melintas di Jalinbar.
Menurutnya, jika tidak menggunakan Patwal, akan menghambat aktivitasnya. Dalam melayani warganya. Padahal, ia mengaku kepada saya, tidak terlalu suka di kawal-kawal.
”Ya bagaimana, kalau tidak seperti itu, saya akan selalu terlambat dalam melayani warga,” ucapnya.
Lantas, apa tindakannya selaku bupati dengan crowded-nya Jalinbar tersebut?
Dendi mengatakan, ia sudah mengusulkan pelebaran Jalinbar lebih dari tiga kali ke pemerintah pusat. Bahkan, ia mengaku sudah pernah menyampaikannya langsung ke Presiden Jokowi. Yang menurutnya kala itu, usulan tersebut pun di dengar langsung Menteri PUPR. Namun, ia tidak tahu apa penyebabnya belum direalisasikan.
Ia pun menyakinkan kepada saya, bakal selalu terus mengusulkan pelebaran Jalinbar ke pemerintah pusat.
Usai diskusi dengan Dendi itu, saya pun berencana mencari tahu persoalan Jalinbar. Dan malam ini (16/5/2022), saya teringat dengan Ibu Rien Marlia. Ia adalah Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Provinsi Lampung.
BPJN Lampung adalah instansi di bawah Kementerian PUPR. Yang bertanggung jawab terhadap kondisi jalan-jalan berstatus nasional di provinsi ini.
Melalui pesan WA, saya katakan kepadanya. Tentang kondisi Jalinbar, yang volume kendaraannya sudah sangat padat, sehingga tidak mampu lagi menampung jumlah kendaraan yang melintas di jalan tersebut. Terlebih setiap Lebaran, yang selalu terjadi kemacetan panjang.
Saya pun bertanya kepadanya: apakah Kementerian PUPR berencana melebarkan Jalinbar? Atau memang pelebaran Jalinbar itu sudah diusulkan instansinya ke Kementerian PUPR?
Ririn lantas menjawab pesan WA saya. Jawabannya akan saya tampilkan apa adanya. Tidak saya editing. Tinggal Anda simpulkan sendiri saja.
” Waalaikum salam wrwb Pak Wira.. apa kabar..Insya Allah selalu dalam keadaan sehat ya..Betul sekali Pak Wira.. lintas barat kita khususnya dr bandar lampung sd Pringsewu sdh sangat padat. Hampir setiap saat terutama pada peak hour, kondisi di ruas tsb selalu macet. Kalau dilihat dr LHR sdh layak utk dilebarkan. Namun kembali lagi utk melebarkan jalan, kita perlu pembebasan lahan. Dan disepanjang bandar lampung sd pringsewu kanan kiri jalan sdh sangat padat penduduknya. Utk pembebasan lahan diperlukan support dr pemda (pemprov ataupun pemkab). Setelah lahan bebas kemungkinan besar bisa kita lakukan pelebaran jalannya. (emoji Namaste),”.
Sebelumnya, saya pun sempat mendiskusikan soal Jalinbar ini dengan menelepon pengamat transportasi Lampung yang juga Dosen Itera: I.B. Ilham Malik. Saya meminta pendapat Doktor lulusan University of Kitakyushu Jepang ini.
Ia pun berpendapat sama. Dari observasinya, VCR Jalinbar sudah 0,7. Apalagi di jam puncak. Terlebih di momentum tertentu. Seperti Lebaran.
VCR adalah singkatan dari volume capacity ratio. Atau, tingkat pelayanan jalan yang diformulakan sebagai perbandingan antara volume kendaraan dengan kapasitas jalan.
Dan menurutnya, Jalinbar memang sudah pantas untuk dilebarkan. Ia cukup menyanyangkan, mengapa pemerintah pusat dalam memperlakukan Jalinbar hanya sebatas overlay. Yakni memperbaiki lapisannya, tapi kapasitas jalannya tidak ditambah.
Ia menduga ada dua penyebabnya. Pertama, data di Kementerian PUPR menyebutkan VC Ratio masih memadai. Yang kedua, karena pembebasan lahannya di sekitaran Jalinbar yang mungkin mahal.
Namun, untuk yang dugaan kedua itu, ia menilai seharusnya bisa di atasi. Terlebih, jalan dibagi tiga ruang. Yakni, ruang milik jalan, ruang manfaat jalan, dan ruang pengawasan jalan. Yang mana, itu sangat terkait dengan garis sempadan bangunan (GSB).
Ia menjelaskan, jika GSB sudah ditetapkan pemerintah adalah sekian meter, biasanya 2m +1, maka sesunguhnya sepanjang koridor itu dalam tanda kutip adalah milik pemerintah. Sehingga bisa dibebaskan pemerintah berdasarkan NJOP.
”Jadi, pembebasan lahan sebenarnya tidak jadi masalah. Yang penting adalah, pemerintah pusat komitmen menurunkan VCR tadi!” katanya.
Ia pun menilai, pemerintah pusat masih sangat minim perhatiannya. Khususnya untuk pelabaran jalan.
Ilham pun menduga ada beberapa penyebabnya. Bisa jadi karena pemerintah pusat punya concern yang lain, atau lemahnya lobi pemerintah daerah. Ditambah lagi karena pemerintah pusat hanya memiliki satu dokumen.
Menurutnya, jika melobi atau ”berbicara” dengan pemerintah pusat, harus menyertakan banyak dokumen. Di antaranya seperti studi kelayakan, master plan yang tertuang di RPJM, RTRW, Renstra dan sebagainya.
Semua dokumen itu, menurutnya harus tercantum ketika melobi pemerintah pusat. Untuk menjadi pertimbangan mereka.
Selama ini, ia melihat ada keterbatasan di pemerintah daerah dalam menerjemahkan kebutuhan administrasi pemerintah pusat. Padahal, pemerintah pusat sangat concern dalam kelengkapan administrasi.
”Istilahnya, pemerintah pusat itu ada pedomannya. Anggaran ke daerah itu, ada centang a, b, atau c,” jelasnya.
Nah, menurutnya pemerintah daerah menurut perhatiannya terbatas dalam menyiapkannya. Terutama soal jalan.
Pemerintah daerah, menurutnya mau tidak mau harus menyiapkan berkas. Dan perlu menggalang dukungan dari berbagai pihak. Termasuk media.
Ia pun berharap anggota dewan lebih proaktif. Tidak hanya di level provinsi, tapi juga anggota DPR RI dan DPD RI asal Lampung yang harus ikut memperjuangkan.
Tugas pemerintah daerah, kata dia, menyiapkan dokumen pendukung. Dalam mempersiapkannya, bisa menggandeng perguruan tinggi (PT). Menurutnya, PT sangat mumpuni menyiapkan dokumen-dokumen itu.
Hanya, ia melihat persepsi itu belum ketemu. Bisa jadi pemerintah daerah khawatir biayanya mahal ketika menggandeng PT. Padahal menurutnya tidak juga. Dan di sisi lain, PT juga mungkin melihat pemda lambat sekali dalam menyiapkan dokumen yang dibutuhkan pemerintah pusat.
”Ini yang mungkin perlu ice breaking!” ucapnya.
Setelah mendengar penjelasan I.B. Ilham Malik itu, saya pun lantas memiliki rencana. Mengelar diskusi sebagai media ice breaking. Dengan mempertemukan semua pihak.
Tentu tujuannya agar Jalinbar tidak crowded lagi. Sehingga saya, dan mungkin Anda juga, tidak kesal lagi. Ketika melintas di jalan tersebut.
(Wirahadikusumah)
